Yoyo sedang gelisah. Kenapa? Apa karena dikejar-kejar utang? Bukan. Yoyo gelisah karena lima hari lagi akan menikah.
Kenapa mesti gelisah? Yoyo sendiri tidak tahu. Entah kenapa, ia seperti sedang menuju lorong gelap yang penuh misteri. Masalahnya, calon isteri yang tidak sampai satu minggu lagi akan resmi mendampinginya seumur hidup itu baru sekali ia lihat. Itu pun tidak berduaan. Tapi, didampingi dua orang teman pengajian.
Apa Yoyo tidak suka cara seperti itu? Sama sekali tidak. Ia justru sangat senang. Yoyo sadar, karena dengan cara itulah, hati dan niatnya untuk menikah bisa lebih bersih. Semata-mata, karena ingin mendapat ridha Allah. Ia yakin, dengan cara itulah Islam menuntun ke jalan yang penuh kebahagiaan.
Tapi kenapa mesti gelisah? Itulah yang dibingungkan Yoyo. Ia khawatir tidak bisa bersikap wajar dengan isterinya kelak. Persoalannya sederhana: baru kali ini aktivis mesjid ini mengkhususkan diri dengan urusan perempuan. Sebelum-sebelumnya tidak. Jangankan berdua-duaan, disapa seorang gadis saja Yoyo sudah keringatan. Bicaranya pun tiba-tiba gagap. Kalau sudah begitu, Yoyo jadi sangat salah tingkah.
Nah, persoalan itulah yang kini kerap mengganggu pikiran Yoyo. Apa mungkin ia bisa bersikap wajar. Tenang. Dan tidak deg-degan. Bagaimana caranya? Gimana kalau setelah menikah, ia berada sekamar dengan seorang wanita yang sangat baru ia kenal. Apalagi kamar yang ia tinggali itu bukan rumah orang tuanya. Tapi, kamar sang perempuan. “Hiii, seram!”
Kebingungan itulah yang sempat memunculkan gagasan aneh Yoyo. Gimana kalau setelah akad nikah, ia ikut pulang ke rumahnya sendiri. Ia tidur di rumah orang tua sendiri, dan sang isteri tidur di rumah yang lain. Setelah itu, baru telepon-teleponan, surat-suratan, kunjungan malam minggu, dan seterusnya. “Bisa nggak ya?”
“Nggak bisa!” seorang teman menjawab ide ‘cemerlang’ Yoyo. Karena itu artinya, Yoyo tidak memperlakukan isteri dengan cara yang baik. Yang bingung itu kan cuma Yoyo, belum tentu calon isterinya. Bisa jadi, calon isteri Yoyo sudah lama menanti saat-saat indah bersama suami pilihan. “Jangan korbankan perasaan orang lain demi menutupi kelemahan diri!” Panjang lebar, teman dekat Yoyo memberikan alasan. “Jadi?” Yoyo minta jalan lain.
“Sebaiknya, malam pengantin nanti, kamu ngobrol-ngobrol dulu dengan isterimu, Yo!” jalan lain pun sudah ditawarkan. “Malam besoknya?” tanya Yoyo. “Ya ngobrol lagi! Sebaiknya, kamu yang lebih dulu nanya.” Dan, Yoyo pun mengangguk-angguk. Pikirannya pun menerawang. “Iya. Kenapa nggak dimanfaatkan buat berkenalan,” suara batin Yoyo menguatkan gagasan sang teman.
Lima hari pun berlalu cepat. Waktu seolah tak peduli dengan kebingungan Yoyo. Akad nikah berlangsung begitu khidmat dan meriah. Semua yang datang selalu menghias wajah dengan senyum dan doa. “Barakallah, Yo. Selamat, ya Yo!” Dan seterusnya. Yoyo pun menyambut dengan senyum bahagia.
Satu hal yang selalu diingat-ingat Yoyo: lebih dulu bertanya. Ia ingat betul nasihat yang teman, “Jangan sampai, isterimu jadi salah paham!” Iya. Memang benar. Yoyo mengukuhkan jawaban itu. Kalau ia diam, isterinya bisa salah paham.
Malam itu begitu senyap. Semua pintu rumah sudah terkunci. Hampir semua lampu rumah mertua Yoyo sudah padam. Kecuali lampu halaman dan kamar yang ditinggali Yoyo dan isterinya. Sesekali, suara deru kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan rumah mengisi keheningan kamar Yoyo.
Rumus sang teman masih diingat Yoyo: tanya lebih dulu. Iya benar. Bismillah. Tapi, ada satu hal yang terlupa. “Ya Allah, aku lupa,” ujar Yoyo dalam hati. Mau tanya apa? Nanya nama? Alamat? Nama orang tua? Atau, nama suami? Yoyo lagi-lagi bingung. Keringat dingin mulai mengucur. Tapi, ia tak boleh diam.
“Hmm...,” Yoyo memulai pembicaraan. “Anu, hmm, saya mau tanya. Gimana menurut ukhti tentang poligami?” tanya Yoyo sekenanya. Cuma kata itu yang ia ingat.
Tak terdengar jawaban apa-apa. Lama sekali. Yoyo terus menunggu. Tiba-tiba, “Huk, huk, huk...” Isteri Yoyo menangis sesegukan. Dan, sang isteri pun keluar meninggalkan kamar.